Nikah Kantor

Nikah Kantor
Suasana Pernikahan

SELAMAT DATANG CALON JEMAAH HAJI TAHUN 2016'SEMOGA MENJADI HAJI MABRUR

Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid (22: 39)‘mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak ada riya’ (ingin dipandang orang lain)“tidak ada rofats (kata-kata kotor di dalamnya)”tidak sum’ah (ingin didengar orang lain), tidak melakukan kefasikan, dan berhaji dengan harta halal

HARTA YANG PALING BERHARGA ADALAH KELUARGA

Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah ia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih (mawaddah) dan sayang (rahmah). Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kamu yang berfikir

DAMAI DALAM SUASANA BEREBUT

Dalam perebutan kekuasaan itu, siapa yang menang akan memanfaatkan dan mempertahankan kemenangannya. Sebaliknya, mereka yang kalah akan mencari peluang untuk merebut pada kesempatan lain.

Kantor Urusan Agama sudah serba IT

Layanan Prima Berbasis IT telah diterapkan sejak tahun 2006, memiliki ruang balai nikah yang luas untuk memuaskan masyarakat

KANTOR URUSAN AGAMA WAJAH BARU

KANTOR URUSAN AGAMA PELAN-PELAN MEMBENAH DIRI KARENA INI JUGA SEBAGAI KANTOR PELAYANAN MASYARAKAT. TIDAK HANYA PERNIKAHAN TERMASUK WAKAF, BP4, KURSUS CALON PENGANTIN

Senin, 21 Desember 2015

Memimpin Dengan Nafsu, Akal, atau Hati

oleh : Imam Suprayogo 22 desember 2015
Memimpin itu adalah bekerja dengan orang lain untuk meraih sesuatu tujuan bersama. Bekerja dengan orang lain mengharuskan setiap pemimpin memiliki kemampuan mempengaruhi masing-masing orang agar mau menunaikan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikannya. Manakala semua orang mau bekerja maksimal, maka tugas pemimpin sebenarnya telah selesai.

Namun pada kenyataannya, menggerakkan orang tidak selalu mudah, sehingga tidak sedikit pemimpin mengalami kesulitan. Sebaliknya, juga sering terdengar para bawahan mengeluhkan perilaku pemimpinnya sendiri. Para bawahan merasa tidak mudah menyesuaikan diri dengan perilaku atasannya. Dalam keadaan seperti ini, iklim organisasi menjadi tidak menyenangkan, baik pemimpinnya maupun bawahan yang dipimpin.

Jika dipelajari, para pemimpin di dalam menggerakkan bawahannya menggunakan nafsu, akal, atau hati nuraninya. Ketiga hal tersebut dijadikan piranti untuk menggerakkan orang lain. Akan tetapi dari ketiga piranti yang dimaksudkan itu masing-masing orang berbeda kecenderungannya. Ada seorang pemimpin yang tampak lebih mengedepankan emosonya, atau akalnya, dan juga hati nuraninya.

Seorang pemimpin yang ketika menghadapi problem cepat marah, maka jelas bahwa yang bersangkutan lebih mengedepankan emosi. Pemimpin seperti itu menjadikan anak buahnya bekerja oleh karena terpaksa atau karena takut. Mereka bekerja bukan oleh karena menyenangi pekerjaannya, melainkan oleh karena takut terkena marah. Suasana kerja seperti ini menjadikan orang bekerja karena terpaksa, serba kawatir, dan biasanya sulit diharapkan menghasilkan sesuatu yang berkualitas.

Berbeda dengan pemimpin yang selalu mengedepankan emosi adalah mereka yang mengutamakan akalnya. Pemimpin yang mengedepankan akal biasanya lebih rasional dan juga kalkulatif. Hubungannya dengan para bawahannya diukur dengan standar tertentu. Apa saja diukur secara matematik atau untung rugi. Beban kerja dihitung dan disesuaikan dengan upah yang dibayarkannyha. Tatkala terdapat orang yang tidak produktif, maka tidak perlu ditegur dan apalagi dimarahi, tetapi cukup dipindahkan pada bagian lain atau dikeluarkan.

Hubungan yang bersifat manusiawi dengan para anak buahnya bagi pemimpin rasional tidak bisa dirasakan. Manusia diperlakukan bagaikan mesin. Sebagai sebuah mesin, maka setiap orang dIanggap bisa diukur atau dikalkulasi produk atau hasil kerjanya. Pemimpin seperti ini tidak terlalu melihat manusia sebagai makhluk yang unik dan berdimensi luas. Manusia diperlakukan bagaikan barang dan bisa diatur sebagaimana yang dimaui oleh pemimpinnya.

Pemimpin rasional menggerakkan anak buahnya dengan peraturan atau jumlah imbalan yang diberikan. Mereka mengira bahwa dengan peraturan dan atau uang, semua orang bisa digerakkan. Pemimpjn seperfti itu tidak membayangkan bahwa manusia memiliki dimensi psikologis yang juga menuntut dipuaskan. Pemimpin yang lebih mengedepankan rasio itu biasanya menggunakan pendekatan formal dan kalkulatif sebagaimana disebutkan di muka.

Terakhir adalah pemimpin yang mengedepankan hati nurani. Pemimpin seperti ini lebih melihat manusia sebagai makhluk yang berdimensi luas dan harus didengarkan suaranya. Pemimpin yang lebih mengedepankan hatinya, maka biasanya menjadikan siapa saja yang dipimpin bekerja secara ikhlas, menyenangkan, dan mengikuti suara nuraninya masing-masing. Hubungan antara pekerja dan pemimpinnya bagaikan antara ayah dan anak. Di antara mereka saling mengormati, menyayangi, menghargai, dan saling menjaga.

Jika diilustrasikan di antara ketiga jenis pemimpin dimaksud adalah bahwa pemimpin yang mengedepankan emosinya biasanya cepat marah dan oleh karena itu tangan dan telunjuknya dijadikan alat untuk menggerakkan orang. Sementara itu pemimpin yang mengepankan akalnya, seringkali tampak bahwa tangannya digunakan untuk memegang dahi dan atau kepalanya. Sedangkan pemimpin dengan menggunakan hati, tangannya lebih sering digunakan untuk memegang dadanya. Mereka berusaha bersikap lembut oleh karena berpandangan, justru dengan kelembutan itu orang menjadi bersemangat bekerja. Wallahu a’lam

Selasa, 01 Desember 2015

DAMAI DALAM SUASANA BEREBUT

Damai Dalam Suasana Berebut
Imam Suprayogo•2 Desember 2015
Berebut biasanya tidak damai, Jika damai biasanya tidak berebut. Berebut tetapi damai itu mustahil. Orang memperebutkan sesuatu pasti ingin menang. Dalam berebut tidak ada pihak yang ingin kalah. Orang yang ingin kalah maka tidak akan ikut berebut. Hal demikian itu terasa sudah menjadi rumus.
Bangsa ini ingin hidupnya damai, makmur, dan sejahtera. Akan tetapi jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan itu dikembangkan suasana perebutan. Apa saja diperebutkan. Padahal, setiap perebutan, selalu ada resiko, yakni ada pihak yang menjadi sakit hati. Permainan untuk mengalahkan lawan berupa taktik, strategi, dan semuanya dimainkan. Bagi yang menang pasti gembira, sebaliknya yang kalah akan sakit luar biasa.
Sebagai contoh yang lagi aktual sekarang ini adalah perebutan jabatan. Pilkada, yakni pemilihan bupati dan atau wali kota adalah merupakan bagian dari perebutan kekuasaan itu Logika bahwa siapa yang kuat, maka akan menjadi pemenangnya pasti juga berlaku pada pemilihan jabatan itu. Seseorang oleh karena sudah merasa tidak memiliki kekuatan yang cukup, sekalipun sebenarnya berkeinginan, maka lebih memilih tidak ikut berebut.
Berdemokrasi hingga kini dianggap sebagai cara terbaik untuk memilih pemimpin. Andaikan para pemilih bisa bertindak obyektif dalam menentukan pilihannya, maka hasilnya akan sangat ideal. Pemimpim akan lahir dari pilihan rakyat. Namun sayangnya, pemilihan itu tidak selalu dilakukan secara obyektif. Tidak sedikit kasus bahwa, siapa yang mampu membayar, sekalipun tidak dikenal, akan dipilih. Akibatnya, siapa saja yang punya uang, merekalah pemenangnya.
Demokrasi adalah pilihanan pemimpin oleh rakyat. Namun pilihan itu kadangkala dijatuhkan kepada siapa saja yang sanggup memberi sesuatu kepada pemilihnya. Atas dasar kenyataan itu, maka bukan kecakapan, kepintaran, pengalaman, pemilik program bagus, integritas terhadap rakyat yang dipilih, melainkan kepada mereka yang sanggup memberi imbalan itu. Itulah problem berat yang harus dihadapi ketika berdemokrasi belum terlalu matang seperti sekarang ini.
Dalam perebutan kekuasaan itu, siapa yang menang akan memanfaatkan dan mempertahankan kemenangannya. Sebaliknya, mereka yang kalah akan mencari peluang untuk merebut pada kesempatan lain. Maka yang terjadi adalah perebutan, saling mencari kelemahan, dan bahkan menjatuhkan. Itulah sebabnya, kedamaian sangat sulit diharapkan terwujud. Yang terjadi justru sebaliknya, yaitu bermusuhan.
Maka jangan terlalu heran, jika kehidupan ini sehari-hari diwarnai oleh suasana saling menjatuihkan, tuduh menuduh, menghasut, konflik, memfitnah dan sejenisnya. Maka, jIka direnungkan secara mendalam, suasana yang terjadi hampir tidak ada bedanya dengan kehidupan makhluk lain yang tidak berakal. Siapa yang kuat, merekalah yang menang. Tentu bagi orang yang hidupnya menghendaki suasana damai, sejuk, tenang, dan kekeluargaan, maka suasana perebutan dimaksudkan dianggap tidak menarik dan tidak menyenangkan.
Selain itu, suasana berebut yang berlebihan juga akan membahayakan. Orang kalah dan apalagi segala-galanya menjadi habis maka suatu saat akan balas dendam dengan berbagai caranya. Akhirnya, lahir permusuhan yang tidak pernah berhenti. Kehidupan bukan diwarnai oleh kedamaian tetapi sebaliknya, yaitu saling hasut menghasut, marah, balas dendam, dan seterusnya. Damai dalam perebutan, senyatanya memang tidak ada. Wallahu a’lam
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com